Beauty & Beast Side Story: BLACK PEARL

BLACK PEARL

Beauty & Beast Side Story:

BLACK PEARL

by Choi Seung Jin @kissthedeer

Genre: Fantasy, Historical, Supernatural, OOC, AU

Leght: Chaptered

Main Cast:

Tao of EXO as Edison

Other Cast:

EXO as Twelve Past Forces

Prolog | Chapter 1 | Chapter 2 | Chapter 3 | Chapter 4 | Chapter 5 | Chapter 6 | Chapter 7 | Chapter 8 | Chapter 9 | Chapter 10 | Chapter 11

****

****

Edison’s POV

Aku kembali ke masa lalu. Pergi ke waktu awal lahirnya Mortem. Aku harus mencari Mortem pertama dan mempelajari tentang Mortem itu sendiri kepada leluhurnya. Memang…ini cara yang sangat kuno. Tapi sekalian saja aku berlindung dari vampire-vampire itu.

Blackhowl bersedia membantuku dengan senang hati. Dia yang membawaku ke waktu yang tepat. Sekitar 5 abad yang lalu.

Astaga, itu zaman yang lama sekali. Aku tidak pernah membayangkan untuk berkunjung ke zaman kuno seperti ini. Jika bukan karena masalah kutukan ini, aku tidak mau pergi ke zaman kuno ini.

Aku ingat sekali, aku sedang berada di kamarku. Tapi setelah kembali ke masa lalu, aku sedang berdiri di hutan yang gelap. Apa 5 abad yang lalu XOXO masih berupa hutan?

Baiklah, kalau sudah begini… aku harus kemana? Aku tidak tahu jalan kalau kondisinya masih hutan begini.

“Blackhowl! Kau tahu arahnya kemana?” Tanyaku pada serigala yang ada dalam tubuhku.

“Ehmm… Coba ke barat.”

Coba? Maksudmu kau juga tidak tahu? Dasar anjing sialan! Kalau dia sendiri tidak tahu, kenapa mengajakku kemari.

“Kau jangan asal tebak! Nanti kalau kita nyasar bagaimana?” Ucapku kesal.

“Coba saja melolong. Jika lolonganmu ada yang membalas, ikuti saja balasan itu.”

Sebenarnya disini yang bisa melolong siapa?-_- Aku atau dia?

Karena dia ahlinya, baiklah, aku akan menuruti apa yang dia bilang. “Tapi setidaknya kau bantu aku.”

 

AWOOOOOOOOOO~

 

Aku mencoba untuk tidak mengeluarkan suara setelah aku melolong barusan. Aku memasang telingaku lebar-lebar, mencoba mendengar disepinya hutan. Semoga apa yang dikatakan Blackhowl benar.

.

.

.

Yap.. Aku masih menunggu disini. Menunggu suara yang daritadi tidak kunjung ku dengar. Great! Now what?

“Punya ide lain?” Tanyaku.

“Sebenarnya… Apa perlu kita sampai ke zaman ini?”

“Bukannya kau yang mengajak??”

Apa jangan-jangan kita seharusnya tidak perlu kemari?-_- Kurang ajar!

“Sebenarnya aku tahu tempatnya. Tapi aku ini Mortem yang buta arah. Aku hanya tahu arah ke tempat yang pernah aku kunjungi,” ujarnya jujur.

“Lalu, dimana tempatnya?”

“Di lembah putih. Jika dihitung dari jarak sekolahmu, jaraknya sekitar 10 kilometer.”

Hmm.. Bagaimana bisa aku bersama Mortem yang buta arah. Ayolah, Ed! Berpikir! Aku harus cari cara untuk tahu arah yang benar.

“Oke. Anggap saja wilayah ini sekolah. Aku sedang ada di kamarku dan kamarku menghadap ke selatan.”

Tadi aku berdiri membelakangi jendela. Itu artinya aku menghadap ke utara. Gedung asrama menghadap selatan dan gedung asrama berada di sebelah kanan gedung sekolah. Maka artinya gedung sekolah menghadap ke barat.

“Jika dari gerbang sekolah, kemana arah menuju lembah putih?”

“Ke timur dari gerbang.”

Bingo! Kita dapat arahnya. Jika ke timur dari gerbang, berarti arahnya ke selatan. Hahah aku memang jenius.

 

****

Aaah… Sudah berjam-jam aku berjalan, tapi tidak ada yang namanya lembah putih sejauh ini. Aku lelah. Saking lamanya, siang hari yang panas sudah berubah jadi malam hari yang dingin.

Sebenarnya, serigala ini tahu tidak sih jalan yang benar? Kenapa dari tadi tidak sampai-sampai?-_-

Hutan ini semakin gelap saja. Aku hampir tidak bisa melihat apa-apa jika saja tidak ada bulan dan sinarnya yang sangat membantu untuk zaman batu ini. Tidak ada senter. Tidak ada lampu jalan. Tidak ada penerangan. Apa yang bisa ku lihat selain pohon?

Setelah urusan werewolf dan vampire ini, serigala itu akan ku ikat dengan rantai karena sudah membuatku kesusahan seperti ini. Astaga… Cobaan apa lagi yang akan datang padaku sekarang.

.

.

.

Aaaah!

.

.

.

Apaan ini? Kenapa ada 5 pria berpakaian aneh yang melompat tepat didepanku? Mereka muncul begitu saja dan menodong ku dengan pedang mereka.

Aku memang punya pedang, tapi mana mungkin aku melawan 5 orang sekaligus. Sial! Aku dikepung.

“Siapa kalian?” Ucapku spontan. Tanganku bereaksi dengan mengacungkan pedangku ke arah mereka yang mulai mengelilingiku.

“Seharusnya kami yang bertanya. Siapa kau?” Kata salah satu pria yang wajahnya tak bisa kulihat jelas karena kondisi yang gelap.

Blackhowl, apa yang harus kita lakukan?

“Kenapa diam saja? Kau siapa? Cepat jawab!” Pria lainnya berbicara padaku dengan nada yang tegas.

Tenang, Edi. Mereka adalah 5 dari 12 Mortem pertama. Buat saja matamu merah. Mereka akan mengenalimu.

Benarkah? Mereka para Mortem pertama? Baiklah. Aku harus menunjukkan bahwa aku adalah Mortem– atau lebih tepatnya dalam tubuhku ada seekor Mortem– sebelum mereka memenggal kepalaku.

Sepertinya mataku sudah berubah menjadi merah.

Berhasil! Mereka menurunkan pedang mereka. Mereka mengenali sebagai Mortem, seperti mereka.

“Kau Werewolf?” Tanya salah satu dari pria itu. Saat cahaya bulan menerangi wajahnya, aku bisa melihatnya. Pria itu mirip sekali dengan Leo. Matanya, bentuk wajahnya, rambunya. Benar-benar mirip dengan Leo, hanya saja terlihat lebih dewasa dan lebih tua. Pakaiannya juga terlihat sangat kuno. Astaga! Kenapa dia bisa mirip sekali?

“Eh? Ehm.. Tidak secara langsung. Maksudku, aku bukan werewolf murni.” Konsentrasiku pecah karena harus memikirkan dua hal sekaligus. Aku sampai nyaris tidak tahu harus menjawab apa.

“Berapa umurmu, nak?” Pria lain mulai mendekati sisi yang diterangi oleh sinar bulan sehingga aku bisa melihat wajahnya. Pria ini mirip Kevin! Astaga! Dia benar-benar mirip Kevin. Aku berani sumpah! Tatapannya yang dingin sangat identik dengan yang kuingat dari Kevin. Dia juga memiliki tubuh yang jangkuk.

Lagi-lagi aku tidak bisa berkonsentrasi karena saking terkejutnya. Bagaimana tidak terkejut? Aku melihat dua orang yang mirip dengan dua temanku. “Eh? Em.. Umurku 17 tahun… Sir.”

Sir? Bodoh! Kenapa aku panggil Sir?

“Pakaianmu sedikit aneh. Kau berasal darimana, nak?” Pria lain berbicara. Dia melangkah mendekati dan dua orang temannya yang sudah lebih dulu menghampiriku. Kini aku bisa melihat wajah pria itu dengan jelas. Apa yang terjadi? Pria yang satu ini mirip sekali dengan Alex. Kulitnya yang gelap serta rahang yang khas. Apa yang lainnya juga mirip dengan teman-temanku? Jangan-jangan ada yang mirip denganku. O_O

“Emm.. Saya berasal dari tempat yang jauh, Sir. Saya…kabur dari tempat saya berasal…emm karena saya tidak terima sebagai werewolf.”

Improvisasi yang bagus, Ed. Entah aku dapat kebodohan darimana sehingga dapat menghasilkan kebohongan yang bodoh. Aku juga tidak bisa bilang aku dari masa depan. Bisa kacau urusannya kalau aku sampai merubah masa depan.

“Sebaiknya kita ajak dia ke tempat kita. Dia mungkin lelah,” kata pria-mirip-Leo memberikan usul pada teman-temannya. “Ayo, nak! Teman kami sudah memasak bubur gandum untuk makan malam.”

 

****

Aku, pria-mirip-Leo, pria-mirip-Kevin, pria-mirip-Alex dan dua orang lain yang kuketahui sebagai pria-mirip-Bernard dan pria-mirip-Richard, tiba di sebuah lembah yang ternyata adalah lembah putih. Beruntung aku bertemu para Mortem ini langsung. Sehingga aku tidak perlu nyasar dengan arahan dari Blackhowl.

Disana ada sebuah kastil tua. Hmm.. Mungkin terlihat tua menurutku yang datang dari zaman modern. Aku tidak tahu kalau ada kastil. Blackhowl tidak pernah membicarakan soal kastil. Apa mungkin di tahun 1982 kastil ini sudah hancur?

Kastilnya tidak terlalu megah dan besar. Mungkin hanya sebesar wilayah sekolah. Untuk ukuran sebuah kastil, itu ukuran yang kecil, bukan? Karena setahu ku kastil itu sangat besar dan megah. Well, itu yang ku baca di buku cerita dan dongeng.

Aku diajak masuk melalui pintu kayu besar melewati sebuah jempatan kecil. Kastil ini dikelilingin parit selebar sekitar 2 meter. Apa mungkin di dalam parit itu ada buaya? Biasanya kan begitu.

Kaki pertama kali berpijak pada aula yang terlihat sangat klasik. Penerangan disana hanya dari obor dan lilin-lilin yang mungkin jumlahnya ratusan supaya bisa menerangi seluruh kastil.

Ah.. Hebat.

Pria-pria itu mengarahkan kembali langkahku memasuki ruangan lain di kiri aula besar tadi. Ruangan itu adalah ruang makan dan disana sudah ada 7 orang pria yang duduk bersiap untuk makan malam.

Astaga! Wajah mereka semua…

Tiba-tiba kepalaku pusing. Wajah mereka semua mirip seperti teman-temanku. Will, Francis, Mike, Stephan, Donald, Thomas, dan…. Astaga naga! Ada pria dengan wajah yang mirip denganku. Kakiku sampai gemetar begini melihat penampakan wajah teman-temanku di zaman kuno ini.

“Akhirnya kalian kembali!” Pria-mirip-Thomas itu menyambut kami– atau lebih tepatnya teman-temannya– dengan hangat disertai dengan senyum yang dalam ingatanku sama seperti apa yang pernah Thomas berikan padaku dan teman-temanku lainnya. Ternyata bukan hanya wajahnya saja, sifatnya bahkan juga mirip.

“Kalian membawa tamu rupanya.” Pria-mirip-Mike menyadari kehadiranku yang seperti anak yang hilang.

“Kami bertemu pria muda ini di hutan. Dia berasal dari negri yang jauh. Dia berkelana seharian. Tidak ada salahnya kami ajak kemari,” kata Pria-Mirip-Kevin seraya menepuk pundakku pelan. Dia melangkahkan kakinya menuju tempat duduknya dan untuk sekilas melirikku seperti isyarat mengajakku untuk bergabung di acara makan malam itu.

“Benarkah? Kau pasti lelah, nak. Siapa namamu?” Ucap Pria-mirip-Mike dengan ramah. Tidak beda jauh dengan Mike yang ku kenal.

Dari pertanyaan yang diberikan pria itu, aku menjawab “Edison, sir.”

“Duduklah!”

Ku taruh ranselku didekat pintu ruang makan dengan pedang milikku yang kuletakkan tepat diatasnya. Aku duduk di salah satu bangku yang kosong. Posisinya tepat disebelah pria-mirip-Leo.

Ada sedikit rasa canggung sebenarnya. Untuk sekarang aku bingung harus berbuat apa selain ikut menikmati makan malam. Niatku pergi ke zaman ini tiba-tiba menghilang dari otakku. Mungkin karena aku terlalu terkejut melihat ada 12 orang dari zaman kuno– yang entah di tahun berapa– yang memiliki wajah yang sangat mirip dengan aku dan ke-11 temanku yang berasal dari tahun 1982. Padahal tidak mungkin kami memiliki hubungan darah. Kalaupun ada, garis keturunannya akan sangat jauh sehingga mustahil mempunyai wajah semirip itu.

Untuk sekarang, aku bingung harus memulai dari mana tujuanku jauh-jauh datang ke zaman ini. Kepada siapa aku harus bicara terlebih dulu. Tidak mungkin jika aku bicara langsung ke duabelas orang yang kini sedang menyantap makan malam mereka.

Ada satu hal lagi yang masih mengganjal di pikiranku. Apa benar mereka lah mortem pertama?

****

Pria-mirip-Leo (sebenernya aku tidak mau memanggilnya begitu, tapi aku sendiri tidak tahu namanya) tiba-tiba mengajakku ke puncak kastil setelah makan malam. Entah kenapa dia membawaku kemari.

Saat makan malam tadi, aku tidak bicara banyak. Aku lebih memilih untuk diam dan mendengarkan 12 orang yang makan malam bersama ku mengobrol satu sama lain. Contohnya saja saat mereka mulai membicarakan soal kemiripan ku dengan salah satu anggota mereka. Mereka juga sedikit terkejut. Bagaimana tidak. Aku saja terkejut, apalagi mereka.

“Jadi…” Kataku yang terdengar seperti bergumam sendiri. Udara malam di zaman ini lebih dingin daripada yang kuingat di tahun 1982.

“Saya ingin minta maaf sebelumnya.” Dia meminta maaf kepadaku sebagai pembuka percakapan ini, tapi…untuk apa?

“Untuk apa, sir?” Tanyaku mencoba sopan.

“Maaf karena saya sudah lancang membaca pikiranmu.”

Jlebb..

Dia…membaca pikiranku? Apa itu artinya dia tahu kalau aku dari masa depan?

“Kau bukan dari zaman ini. Iya, kan?”

Aku diam. Aku tidak bisa berbuat apa-apa sekarang. Aku sudah ketahuan.

“Tidak masalah. Aku bisa mengerti kenapa kau datang ke waktu ini. Kau akan aman disini untuk sementara.”

Dia benar-benar tahu alasan kedatanganku kemari. Dia membaca semua pikiranku. Tapi beruntung dia bisa menerima kal itu. Jika tidak, mungkin aku akan mati dicabik-cabik.

“Kau tidak usah takut akan kami bunuh.”

Eh? Dia tahu apa yang ada di kepalaku? Astaga. Aku jadi malu sendiri.

“Kau lebih kuat dari kami. Bahkan kau bisa melawan kami berduabelas sendirian.”

“Benarkah? Ku rasa tidak, sir. Saya hanya bocah 17 tahun yang selama hidupnya telah hidup dengan werewolf dalam dirinya. Saya bukan Mortem murni. Bahkan saya tidak seharusnya disebut Mortem.”

Yang ku katakan benar, kan?

“Jika kau memiliki kekuatan yang besar, kenapa kau sampai dikejar-kejar oleh sekelompok vampire yang membuatmu kabur ke zaman ini?”

Aku terdiam–lagi. Mungkin aku memang dikejar-kejar hingga kabur ke sini. Tapi kekuatanku tidak sebesar itu. Tidak sebesar para Mortem pertama.

“Kami– Mortem– bukanlah makhluk murni yang seperti kau bayangkan. Kami jauh lebih buruk dan hina.”

Kali ini aku mencoba mendengarkan. Saat pria Mortem itu merendahkan dirinya dan kesebelas temannya yang lain.

“Apa di zaman mu, kau pernah mendengar legenda tentang duabelas ksatria yang berasal dari dunia asing?”

Aku menggeleng tanda tidak tahu. Tapi aku kurang yakin apa aku pernah mendengar kisah itu atau tidak. Mungkin aku pernah mendengar cerita itu di suatu tempat atau mungkin tidak pernah.

“Aku tidak heran kenapa kau tidak pernah mendengar legenda itu.” Dia terkekeh pelan.

“Kami adalah 12 ksatria dari negri bernama EXO. Negri yang indah sebenarnya. Letaknya ada di antara bintang.”

Dia menujuk ke arah langit yang penuh dengan bintang. Dia seakan menimaksud EXO ada di luar angkasa sana. Jangan-jangan mereka alien.

“EXO adalah negri dimana 4 musim terjadi secara bersamaan sehingga EXO dibagi menjadi 4 negara. Kau bisa menemukan banyak hal disana. Tentunya lebih baik daripada disini.”

“Jika di sana jauh lebih baik, kenapa kalian kemari?” Tanyaku penasaran. Memang benar kan? Jika mereka lebih nyaman disana, kenapa harus pindah ke bumi?

“Kami di kirim ke sini sebagai tindakkan evakuasi. EXO sedang terjadi perang besar. Perang terbesar yang pernah terjadi.”

 

Perang besat terjadi di planet EXO. Kegelapan ingin menguasai negri yang indah dan penuh dengan cahaya itu. Duabelas ksatria tertinggi bertarung denga seluruh kekuatan mereka untuk mempertahankan planet mereka.

Namun kekuatan kegelapan lebih besar dari yang mereka perkiraan. Banyak prajurit yang gugur dalam perang besar itu. Raja Agung planet EXO mengirim keduabelas ksatria ke planet lain bernama bumi tanpa sepengetahuan para ksatria itu sendiri. Saat mereka sedang bertarung dengan makhluk-makhluk kegelapan, cahaya terang membawa mereka ke bumi. Sejak saat itu, keduabelas ksatria planet EXO tinggal di bumi hingga sekarang.

 

Aku antara percaya dan tidak percaya dengan cerita pria ini. Apa benar di galaxy sana ada planet yang bisa ditinggali oleh makhluk hidup bahkan makhluk hidup seperti dia?

“Lalu, bagaimana planet EXO sekarang? Perangnya sudah selesai?” Tanyaku lagi. Wajar saja kalau aku banyak bertanya.

“Mungkin sudah selesai. Dan mungkin planet EXO sudah tidak ada sekarang.”

“Oh.. I’m sorry about your planet.” Dia hanya terkekeh pelan.

Lalu, jika sebenarnya mereka ini adalah ksatria-alien, bagaimana mereka bisa menjadi seorang werewolf?

“Kami menjadi seperti ini karena serangan sekelompok werewolf. Berberapa hari setelah kami tiba di bumi, kami di serang oleh sekelompok werewolf. Kami tidak bisa membalas serangan mereka karena kekuatan kami saat itu sedang melemah.”

Lagi-lagi dia bisa mengetahui apa yang ada dipikiranku. Huft.. Oke. Sekarang ini aku masih setia mendengarkan cerita pria yang mungkin umurnya berbeda puluhan tahun dariku. Karena biasanya alien bisa hidup ratusan tahun.

“We are infected. Kami berubah hanya dalam waktu semalam.” Dia berhenti dan mulai terkekeh pelan lagi. Seperti mengingat kejadian konyol yang terjadi dalam kenangannya. Mungkin.

“Pada awalnya, kami tidak bisa mengendalikan diri kami sendiri. Kami bahkan menghancurkan sebuah desa karena hal itu.

“Tapi pada akhirnya kami mulai belajar untuk mengendalikan diri dan menyadari bahwa kami adalah bukan werewolf biasa. Kami menjadi werewolf jenis yang baru. Kami werewolf dengan kekuatan besar. Jelas sangat berbeda dengan werewolf seharusnya.”

Jadi… Mortem benar-benar bukanlah makhluk murni. Pada intinya, mereka seperti werewolf lain. Bedanya mereka punya kekuatan yang tidak dimiliki werewolf lain.

“Boleh ku tanya sesuatu?” Dia berbicara lagi, tapi kali ini bertanya.

Ku jawab, “Tentu. Silahkan!”

“Apa yang sebenarnya membawamu ke sini, nak? Apa yang ingin kau pelajari?”

“Aku ingin mempelajari tentang Mortem. Aku ingin mengendalikan mereka dan melindungi mereka dari incaran vampire, terutama aku dan Mortem milikku,” jawabku mantab dan penuh keyakinan.

Aku pernah membaca di buku. Jika ada orang yang menanyakan tujuan kita, itu artinya dia sedang menguji kita. Semacam tes, apakah kita pantas untuk mendapatkan apa yang kita butuhkan atau malah sebaliknya. Aku jawabanku bisa meyakinkan pria yang sedang berdiri di depanku.

“Aku tidak tahu apa yang bisa katakan padamu. Tapi aku punya saran. Pergilah ke zaman yang lebih muda. Kau harus belajar dari orang sudah mempelajari kami. Kami belum belajar banyak. Aku ragu, apa aku bisa memberimu sebuah pelajaran. Tapi kau bisa mencarinya sendiri.”

“Apa anda benar-benar tidak bisa membantu saya?”

“Sayangnya tidak. Tapi pasti ada seseorang yang bisa membantumu. Percayalah! Tetaplah di wilayah ini saat kau pergi. Aku yakin kau akan bertemu dengan orang-orang yang menjaga kastil ini saat kami sudah tidak ada dan tahu banyak tentang kami lebih dari kami sendiri.”

Aku mengangguk paham. Akan ada perjalanan waktu lagi sehabis ini. Dan perjalananku masih panjang sampai aku kembali dengan semua yang aku dan teman-temanku butuhkan untuk melawan para vampire.

Pria itu mengulurkan tangannya kepadaku dan aku menyambut tangan itu dengan senang hati dan penuh rasa hormat karena bisa berhadapan langsung dengan Mortem pertama dalam sejarah.

“Good luck, kid.” Dia menepuk pundakku penuh keyakinan. Aku tambah semangat.

“Jika kau sudah kembali ke zaman mu sendiri, titip salamku untuk temanmu yang bernama Leonardo.”

Eh?

*****

Aku pergi ke tahun 1700-an. Ya.. Kira-kira segitu. Karena aku pergi ke 200 tahun setelah adanya Mortem pertama. Seperti yang dikatakan pria-mirip-Leo, kini berdiri didepan kastil para ksatria-alien yang Mortem itu. Namun kastil itu sudah menjadi semacam kuil para Mortem. Hampir tidak ada yang berubah, sebenarnya. Bedanya hanya kastil itu terlihat lebih tua namun lebih bersih. Mungkin karena sering dirawat.

Baiklah. Aku tidak ingin membuang waktu. Lebih aku cepat masuk ke dalam. Semakin cepat aku mendapatkan ilmu yang ku butuhkan, semakin cepat aku pulang.

Langkahku kembali membawaku ke dalam kastil itu. Selama 200 tahun, apa yang ada di dalam kastil telah berubah banyak.

Di dalam kastil ada dua kakek-kakek yang berdiri ditengah-tengah aula. Sepertinya mereka menyadari kedatangan ku dan langsung menatapku yang berdiri di pintu besar dengan pedang yang kuikatkan dipinggang. Mereka menatapku dengan tatapan yang ragu, kemudian saling menatap satu sama lain.

“Selamat datang, anak muda,” kata salah satu kakek disana.

Well, mereka menyambutku dengan baik. Tidak ada alasan untukku tidak masuk ke dalam, bukan?

Tempat ini lebih mirip dengan museum sekaligus sebuah kuil tentang para Mortem pertama ketimbang sebuah kastil.

“Ada yang bisa kami bantu?” Tanya salah satu kakek ramah padaku.

Aku tidak ingin membuang kesempatan. “Aku ingin belajar tentang Mortem. Kalian bisa mengajariku?”

Dua kakek itu diam dan saling menatap. Apa ada yang salah dari ucapanku sampai mereka beraksi seperti itu. Seperti ucapanku barusan mengingatkan mereka pada sesuatu.

“Hmm.. Siapa namamu, nak?”

Aku menjawab santai, “Edison.”

Ekspresi mereka seketika berubah saat mendengar namaku. Apa namaku mengingatkan mereka pada sesuatu atau apa?

“Tuan muda. Maaf atas ketidak sopanan kami.”

Eh? Kenapa mereka minta maaf? Dan kenapa mereka memanggilku Tuan muda?

“Kami sudah menunggu kedatangan anda kemari. Mari kami tunjukan seluruh isi kastil ini, Tuan.”

Aneh, sebenarnya. Mereka mengajakku berkeliling kastil ini dengan berlakuan yang khusus dan mereka bersikap lebih sopan dan hormat. Aku masih bingung dan belum mengerti kenapa mereka memperlakukanku seperti itu.

“Mortem pertama telah meramalkan akan ada seorang anak muda laki-laki yang ingin belajar tentang Mortem demi melindungi Mortem. Laki-laki yang mengenakan atasan putih dan celana hitam, membawa tas dan sebuah pedang yang indah.”

Ciri-cirinya mirip sepertiku. Sekarang aku sedang mengenakan kemaja putih dan celana hitam. Apa ramalan yang dimaksudkan itu aku? Artinya pria-bernama-Leo itu sudah memperingati bahwa aku akan datang.

“Kami merasa terhormat bisa menerima tuan disini. Kami akan membantu semampu kami.”

“Baiklah. Aku ingin tahu semua tentang Mortem, apa saja yang bisa dilakukan Mortem, dan bagaimana aku bisa menggunakan kekuatan Mortem untuk mengalah vampire.” Aku benar-benar tidak ingin membuang kesempatan ini. Aku harus memanfaatkannya dengan semaksimal mungkin. Supaya aku dan dan temanku yang lain bisa menghancurkan para vampire dan mengakhiri kutukan ini.

“Maaf, tuan. Jika boleh saya sarankan, lebih baik pedang tuan saya bawa ke ruang bawah tanah. Saya tahu apa yang harus saya lakukan dengan pedang Tuan supaya Tuan bisa bertarung dengan vampire.”

****

“Dulu, salah satu dari Mortem pernah dikurung dalam jiwa seorang anak laki-laki. Hebatnya, dia bisa bertahan hingga 100 tahun hidupnya begitu pula dengan anak itu. Sama seperti anda, Tuan. Dia telah memberikan banyak pengaruh bagi para Mortem.”

Salah satu kakek mengajakku berkeliling kastil ini selama—mungkin—hampir 3 jam sambil menjelaskan semua yang ada di dalam kastil tua itu. Sekarang dia membawaku ke sebuah ruangan yang menurutku lebih mirip seperti ruang pameran. Di dindingnya terdapat banyak lukisan-lukisan dan salah satunya adalah lukisan seorang laki-laki berambut hitam dan bermata hijau.

“Dia pria yang baik. Sayangnya dia meninggal 5 bulan yang lalu.”

Jika dia sama sepertiku, aku harus mempelajari tentang laki-laki yang ada di lukisan itu. Aku ingin mempelajari apa yang dia pelajari.

“Ceritakan semua yang telah beliau pelajari!”

“Dengan senang hati.” Kakek itu berjalan menuju sebuah tempat membaca yang mirip seperti sebuah podium ramping yang diatasnya ada sebuah buku tua.

“Beliau menulis semuanya disini.” Dia membuka buku itu. Buku itu tidak terlalu tebal. Tidak setebal buku tua milik Pak Jim yang pernah ia tunjukkan berberapa waktu lalu.

“Mortem dalam tubuh inang, dengan sendirinya akan membelah menjadi dua wujud. Wujud pertama adalah wujud manusia Mortem yang bisa dikeluarkan oleh beliau sendiri. Wujud kedua adalah wujud Mortem tak berjiwa yang tidak bisa meninggalkan tubuh penjaranya. Intinya, Mortem bisa saja keluar dari tubuh inangnya dalam wujud manusia, namun tidak dengan wujud Mortemnya yang akan terus melekat pada tubuh inangnya.”

“Jadi, Mortem bisa keluar masuk dari tubuh inangnya dengan mudah?” Pengetahuanku tentang Mortem kini bertambah, tapi aku belum puas. Pasti masih banyak lagi yang bisa ku pelajari.

“Apa itu artinya aku tidak bisa bebas dari wujud Mortem?” Tanyaku penuh harapan. Namun yang ku dapat hanyalah gelengan lesu seorang kakek.

Ah, sial! Kalau begini, ini sama saja aku tidak mendapatkan ilmu apa-apa dari perjalanan melelahkan ku ini.

“Sebenarnya, tuan, anda tidak perlu mempelajari berbagai ilmu untuk menguasai Mortem anda. Kau hanya perlu memahaminya dan biarkan menyatu dengan jiwamu. Meski pada akhirnya anda tidak bisa terlepaas dari wujud Mortem, tapi setidaknya anda bisa mengendalikannya dan membuatnya keluar jika anda membutuhkannya saja.”

Kata-kata bijak orang tua selalu berhasil menjernihkan pikiranku yang sudah terlanjur kusut akibat masalah yang selama ini ku hadapi. Aku harus menguasai Mortem ku sendiri. Begitu, kan intinya?

“Tuan.” Aku berbalik dan mendapati kakek yang satu lagi telah kembali dengan pedangku setelah 3 jam terakhir membawa pedangku entah kemana. “Pedang anda sudah siap.”

Aku meraih pedangku dari serahan kakek itu. Pedangku tidak terlihat ada perbedaan dari yang kuingat 3 jam yang lalu. Mungkin hanya sedikit berat. “Sebenernya, apa yang kau lakukan pada pedangku, kek?”

“Saya ini adalah seorang pandai besi yang telah lama mengabdi untuk kastil ini. Saya telah membuat ulang pedang anda dengan tambahan perak murni. Perak murni bisa membunuh vampire dengan hanya sekali tusukan. Gunakanlah pedang ini saat berperang nanti, tuan.”

Perak murni? Keren! Aku menarik pedangku dari sarungnya. Pedang ini memang terlihat lebih indah dan—pastinya—keren. Aku tak sabar menunjukkan pedang ini kepada Kevin, Leo dan Pak Jim. Tapi, tunggu!

“Bagaimana kau tahu kalau aku akan berperang dengan vampire?”

“Sudah diramalkan oleh para leluhur, tuan. Itu sebabnya tuan kemari, bukan?” kata salah satu kakek itu.

Sepertinya, perjalananku kali ini tidak sepenuhnya sia-sia. Setidaknya jika kami menang melawan vampire, kami bisa hidup lebih tenang tanpa takut oleh ancaman kejaran para vampire.

“Terima kasih. Sebaiknya aku segera kembali. Aku pasti sudah lama pergi.”

Aku pamit kepada dua kakek yang sudah banyak membantu itu dan segera kembali ke tahun 1982.

 

****

Aku masih mendarat di tempat yang sama meski tahunnya berbeda. Kuil Mortem di tahun 1982… ternyata sudah menjadi puing-puing reruntuhan yang sudah tidak ada bentuknya. Pasti akibat serangan Minho yang membantai semua Mortem dan menghancurkan peradaban mereka.

“Benar, kan?” ucapku menegaskan. Blackhowl diam saja. Mungkin dia terlalu sedih mengingat kampungnya sudah menjadi kenangan menyedihkannya sendiri.

Sebaiknya aku segera kembali ke sekolah sebelum ada vampire yang menemukanku disini dan sendirian. Aku berjalan cepat—atau lebih tepat berlari kecil—kembali ke sekolah secepat yang aku bisa.

Aku merasakan sesuatu yang tak enak disini. Sesuatu yang dingin yang kini berada di sekitarku. Terbukti saat sosok perempuan berkulit pucat melompat dan mendarat tepat di depan ku.

 

 

END

Next: Beauty & Beast Chapter 12

 

*****

Yow! Yow! Yow! This is me, author cantik pacarnya Luhan telah kembali #plakk

Mian ya, Chapter 12 nya masih Jinnie simpen buat lebaran *eh. Ini special side story nya BB yang menceritakan sedikit perjalan teman kita Edison a.k.a Tao a.k.a Black Pearl ke masa lalu untuk belajar tentang sejarah Mortem. Disini juga di kasih tau loh kenapa Fleur bisa bebas dari Kevin heheh^^ Mian lagi kalau side story ini terkesan “nembak” karena Jinnie Cuma bikin intinya aja disini ._.

Woohoo^^ BB udah sampai 11+1 chapter dan Jinnie merasa seneng karena tanggapan dari readers selalu baik. Terima kasih readers tercintaaaaaah^^

Oiya.. Hari ini kan ultah nya Kim Jongin a.k.a Kai si pemeran tokoh Alex. Waaah!! Happy Birthday Bronze Skin, Kai ^^ Semoga nge-dance-nya tambah jago dan perannya di BB bisa tambah banyak *loh. Dua hari yang lalu ultah nya Kyunsso a.k.a D.O si pemeran tokoh Thomas^^ Semoga suara dia tambah bagus ya^^

Terima kasih untuk readers yang sudah setia sama Jinnie. Terutama buat yang udah sering COMMENT^^ Jinnie cintaaaaa readers #moaah

Well, sekian dulu dari Jinnie yaa^^ See you on next chapter.

P.S : untuk readers yang nungguin kelanjutan FF Jinnie yang Ravens, mohon bersabar sedikit yaah. Jinnie rencananya mau nunda peluncuran Chapter 2 dari Ravens karena mau fokus nyelesain Beauty & Beast sampai tamat. Gak akan lama kok. Mungkin sekitar 2-3 chapter lagi BB bakalan tamat (mudah-mudahan).

15 thoughts on “Beauty & Beast Side Story: BLACK PEARL

  1. ((udah baca, tapi ternyata belon komen lagi hehehe))
    suka banget part ini. yang tadinya penasaran kemanakah taooooo? jadi udah tau deh:3 postermu awesome as always kak:3

  2. akhhhh.. Suka bgt pnggambran crita’y! Keren! Brarti dri awal ampe mortem yg skrang nama mereka tetep?
    Btw tokoh utama’y cpa? Leo?

    D tnggu chapter 12 >,<

    • Nggak juga. Sebenernya nama mereka beda. Cuma klw dikasih nama semua, takutnya readers bingung. Jadi istilahnya di anonymous aja heheh ._. Klw di side story ini, main cast nya si Edison. Tapi kalau di Beauty & Beast, main castnya Leo 🙂

      Dituunggu ya^^

    • Hehe^^ Makasih 😀 Sebenernya nama Mortemnya beda2. Cuma di sini aku anonymous biar readers gak bingung karena kebanyakan nama ._. Kalau di side story ini, main cast nya si Edison. Tapi kalau di Beauty& Beast main cast nya si Leo :))

  3. hai kak,bener bener sukaa ini sama ceritanyaaa, falling in love hehe, yahyah udh mau end aja bb nyaa, ravens nya kpn keluarnya kak ? jgn lama2 ya kak, tapi tetep setia nunggu nih wehehe, daebak lah pokoknyaa! fighting!!^^

  4. yeaahh!! kak aku ngefans nih sama ceritanyaaaa, suka sama yg genre2 gini, bahasanya berasa kyk nonton film hehe, yaah tamat bentar lagi, yah ravens lama ga tuh keluarnya, nungguin semua thor, hehe, daebak lah pokoknyaa.. figting!!^^

  5. Semangat Jinnie ^^ buat karya selanjutnya.
    Kalo ada kesulitan berbagi aja ama kami,, mungkin kami bisa ngasih solusi 🙂

    saya pembaca baru fict kamu ,,
    Mohon Bimbingan nya .
    Belum baca dari awal,, baru mau mulai .

Leave a reply to angelaadeaa Cancel reply